Sumenep — Transformasi dakwah di era digital terus menemukan momentumnya. Enam mahasiswa Kandidat Doktoral Universitas Islam Malang (UNISMA) bersinergi dengan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep, dalam kegiatan pendampingan Penguatan Moderasi Beragama berbasis Literasi Digital bagi Calon Da’i. Kegiatan ini menjadi langkah strategis dalam membekali santri agar mampu berdakwah secara bijak, inklusif, dan bertanggung jawab di ruang digital.
Program pendampingan ini menitikberatkan pada kemampuan calon da’i dalam memilah informasi keagamaan, memahami etika dakwah di media sosial, serta menghindari narasi provokatif dan ekstremisme digital yang kian marak. Kegiatan pendampingan ini berlangsung selama 6 Hari, mulai Tanggal 8 Desember 2025 hingga 13 Desember 2025.

Ketua rombongan kandidat doktoral UNISMA Tahun 2025, Lukman Sarofi, menegaskan bahwa dakwah digital membutuhkan kecakapan literasi yang kuat. “Calon da’i hari ini tidak cukup hanya menguasai kitab dan retorika mimbar. Mereka juga harus memiliki kemampuan literasi digital agar tidak terjebak hoaks, ujaran kebencian, dan konten keagamaan yang menyesatkan,” ujarnya.
Senada dengan itu, Andri Sutrisno, kandidat doktoral lainnya, menyampaikan bahwa pesantren memiliki potensi besar sebagai pusat dakwah moderat di ruang digital. “Pesantren Al-Amien sudah memiliki tradisi moderasi yang kuat. Tugas kami adalah membantu mentransformasikan nilai-nilai itu ke dalam platform digital secara santun dan argumentatif,” jelasnya.
Menurut Muhammad Fuad Mas’ud, penguatan moderasi beragama berbasis literasi digital menjadi benteng penting bagi generasi muda. “Media sosial bisa menjadi ladang dakwah, tetapi juga bisa menjadi ruang subur bagi radikalisme. Di sinilah peran pendampingan akademik menjadi sangat penting,” ungkapnya.
Sementara itu, Ahmad Aly Syukron Aziz Al Mubarok, kandidat doktoral UNISMA, menyoroti aspek etika digital dalam berdakwah. “Kami menekankan bahwa dakwah digital harus menjunjung adab, empati, dan tanggung jawab moral, bukan sekadar viralitas,” tuturnya. Kandidat doktoral lainnya,
Ahmad Farikhin, menambahkan bahwa pendekatan yang digunakan bersifat partisipatif dan kontekstual. “Santri tidak hanya diberi materi, tetapi juga diajak berdiskusi dan mempraktikkan pembuatan konten dakwah digital yang moderat dan mencerahkan,” katanya.
Hal serupa disampaikan oleh Alfarabi Shidqi Ahmadi, yang melihat program ini sebagai jembatan antara tradisi pesantren dan tantangan zaman. “Ini adalah upaya menyambungkan khazanah keilmuan pesantren dengan realitas digital tanpa kehilangan jati diri keislaman,” ujarnya.

Penanggung Jawab Santri Niha’ie (Kelas Akhir) TMI Al-Amien Prenduan, Ust. Muhammad Syafiuddin, menyambut baik kolaborasi tersebut dan mengapresiasi keterlibatan akademisi dalam dunia pesantren. “Kami sangat bersyukur atas pendampingan ini. Dakwah hari ini tidak cukup di mimbar dan masjid, tetapi juga harus hadir di dunia digital dengan semangat moderasi, kebijaksanaan, dan rahmatan lil ‘alamin,” tegas beliau.
Melalui sinergi antara akademisi dan pesantren, kegiatan ini diharapkan mampu melahirkan calon da’i yang adaptif terhadap teknologi, memiliki kesadaran literasi digital, serta mampu menjadi agen moderasi beragama di tengah masyarakat multikultural Indonesia.

